Dreams


Hari pertama kuliah, seorang professor di kelas kami memperkenalkan dirinya dan menantang kami untuk lebih mengenal seseorang yang sebelumnya belum pernah kita kenal. Aku kemudian berdiri dan melihat sekeliling, dan pada saat itu sebuah tangan menyentuh bahuku. Aku berbalik dan mendapatkan seorang wanita tua bertubuh kecil dengan rambut ikalnya menatapku dengan wajah yang tersenyum.

Dia berkata, “Hai, tampan. Namaku Rose. Umurku enam puluh tujuh tahun. Bolehkah aku memberimu sebuah pelukan?” aku kemudian tertawa dan menjawab dengan senang, “Tentu saja kamu boleh!” dan dia pun memelukku dengan hangat.

Mengapa kamu berada di kampus ini pada usia ini?” tanyaku.

Sambil bercanda, dia menjawab, “Aku ada disini untuk mencari suami yang kaya, kemudian kami menikah, memiliki dua orang anak, kemudian kami mengambil pensiun dan melakukan travelling.”

“Ayolah yang serius.” tanyaku lagi. Aku begitu sangat penasaran, hal apa yang telah memotivasi dirinya untuk berani mengambil tantangan ini di usianya yang tidak muda lagi.

“Aku selalu bermimpi memiliki pendidikan yang tinggi di sebuah universitas dan saat ini aku sedang melakukannya!” dia kemudian memberitahuku.

Seusai kelas, kami berjalan ke ruangan aula dan saling berbagi milkshake coklat. Dengan begitu cepat kami menjadi teman. Setiap harinya selama tiga bulan berikutnya kami selalu meninggalkan kelas bersama-sama dan mengobrol tanpa henti. Aku selalu seperti terhipnotis untuk mendengarkan “mesin waktu” ini pada saat ia membagi segala kebijaksanaan dan pengalaman-pengalamannya kepadaku.

Selama tahun pelajaran itu, Rose menjadi seorang ikon kampus dan kemanapun dia pergi dia selalu begitu mudah untuk mendapatkan teman. Dia begitu menyukai segala perhatian yang ia dapatkan dari siswa-siswa lainnya, yang menurutnya adalah sebuah anugerah.

Pada akhir semester, kami mengundang Rose untuk memberikan sebuah pidato dalam pembukaan pertandingan sepakbola di kampus kami. Aku takkan pernah bisa lupa apa yang telah ia ajarkan untuk kami. Ia dipanggil dan diperkenalkan ke seluruh siswa, dan ia kemudian melangkah menaiki podium. Saat ia mengambil lembaran-lembaran kertas yang berisi catatan pidatonya, ia menjatuhkan tiga dari lima lembar kertas yang di pegangnya ke lantai. Dengan wajah yang agak frustrasi dan merasa malu, ia maju ke mikrofon dan berkata ringan, “Maaf, aku merasa sangat gugup. Aku memberi bir ku untuk Lent dan wiski ini membunuhku! Aku takkan pernah dapat menyampaikan pidato seperti yang telah aku persiapkan sebelumnya, jadi ijinkan aku untuk menyampaikan apa yang aku tahu.”

Kami pun tertawa mendengarnya, kemudian dia mulai berkata: “Kita tidak berhenti bermain karena kita tua; kita menjadi tua karena kita berhenti bermain. Ada empat rahasia untuk membuat kita tetap muda, berbahagia dan meraih kesuksesan.””Kamu harus tertawa setiap harinya. Kamu harus mempunyai sebuah mimpi. Saat kamu kehilangan mimpimu, maka kamu ‘mati’. Ada begitu banyak orang yang berjalan di sekitar kita yang sebenarnya telah ‘mati’ dan mereka tidak menyadarinya!”

“Ada suatu perbedaan yang sangat besar antara tumbuh menjadi dewasa dan tumbuh menjadi lebih tua. Jika kamu berusia sembilan belas tahun dan berbaring di tempat tidur selama setahun penuh dan tidak melakukan satu kegiatan produktif apapun, kamu akan berubah menjadi duapuluh tahun. Dan jika aku berusia enam puluh tujuh tahun dan tetap berada di tempat tidur selama setahun dan tidak pernah melakukan apapun, aku akan menjadi enam puluh delapan. Semua orang bisa tumbuh menjadi lebih tua. Hal tersebut tidak akan mengambil bakat atau kemampuan apapun. Tapi yang terbaik adalah untuk dapat tumbuh dengan selalu menemukan kesempatan di dalam perubahan.”

“Jangan pernah menyesal. Para orang-orang yang berusia cukup tua biasanya tidak memiliki penyesalan atas apa yang telah kami lakukan, tapi lebih pada penyesalan pada apa yang tidak kami lakukan. Orang-orang yang takut akan kematian hanyalah mereka yang mempunyai penyesalan.”

Dia menyimpulkan pidatonya dengan menyanyikan The Rose dengan beraninya. Dia menantang semua dari kami untuk mempelajari lirik lagu tersebut dan menghidupkannya dalam keseharian kami.

Pada akhir tahun Rose berhasil menyelesaikan kuliahnya yang telah ia mulai sejak bertahun-tahun yang lalu.

Satu minggu setelah acara wisuda, Rose meninggal dengan tenang di dalam tidurnya.

Lebih dari duaribu siswa menghadiri pemakaman dirinya sebagai wujud penghormatan kepada seorang wanita yang begitu hebat yang telah mengajarkan dengan memberikan contoh atas dirinya. bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk menjadi semua yang kemungkinan kamu bisa.


Pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah:
• Tidak pernah terlambat buat kita untuk belajar
• Tertawalah dan temukan segala kelucuan itu setiap harinya
• Jangan biarkan perubahan menguasaimu, tapi biarkan perubahan itu membantumu untuk menemukan kesempatan yang mungkin sebelumnya belum pernah kamu lihat.


Masa depan itu adalah milik orang-orang yang percaya terhadap keindahan impian-impiannya. (Eleanor Roosevelt)
Bermimpilah seakan kamu akan hidup selamanya. Hiduplah seakan kamu akan mati hari ini. (James Dean)


¤¤¤¤¤

0 comments:

Post a Comment

Menarik