Kisah Orang Kaya Baru di Jimbaran, Bali, yang Kembali Miskin
Setiap Hari Judi, Gemar Main Perempuan, lalu Bangkrut
Setiap Hari Judi, Gemar Main Perempuan, lalu Bangkrut
Di Bali, proses jual beli tanah untuk pendirian hotel-hotel berbintang menyisakan kisah menarik. Jual beli tanah yang terjadi puluhan tahun lalu itu melahirkan sejumlah OKB (orang kaya baru). Tapi, mereka yang dulu kaya raya itu kini kembali miskin.
YOYO RAHARYO, Badung
UMUR Wayan Balut tak lagi muda: 67 tahun. Tapi, dia masih tampak energik. Sehari-hari warga Lingkungan Teba, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, itu bekerja serabutan.
Dia tinggal bersama dua istri di rumahnya yang sangat sederhana. "Untung, anak-anak saya sudah bekerja semua. Mereka sudah punya kehidupan sendiri-sendiri," kata bapak enam anak itu.
Kedua mata Balut menerawang ketika ditanya tentang perjalanan hidupnya puluhan tahun lalu. Balut adalah salah seorang OKB (orang kaya baru) karena tanahnya dibeli investor yang membangun hotel di Desa Jimbaran.
"Saya dulu petani garam. Sekitar 1978 tanah saya dibeli untuk hotel dan pembangunan kampus Universitas Udayana. Lokasi tanah saya ada di Bukit Jimbaran," ceritanya. Balut mengaku, luas tanah yang dijual pada saat itu berhektare-hektare.
Balut mengatakan, saat itu harga tanah per are sekitar Rp 100 ribu (1 are = 100 meter persegi). Dari hasil menjual tanahnya, Balut menerima uang puluhan juta rupiah. Kala itu cukup populer istilah pis jamrud. Yakni, uang yang datang dari hasil menjual tanah. "Uang segitu pada 1978 termasuk besar," ujarnya.
Oleh Balut, uang tersebut dipakai untuk berbagai macam. Di antaranya biaya upacara keagamaan seperti ngaben, memperbaiki sanggah (tempat untuk memuja nenek moyang, Red), berbisnis, hingga berfoya-foya meski sedikit.
"Sedikit saya pakai foya-foya. Karena judi kurang bisa. Main perempuan sedikit," katanya berterus terang, seraya minta agar wajahnya tak diabadikan.
itu Balut tak lagi menjadi petani garam. Dia membeli satu unit truk dan mencoba berbisnis kapur gamping yang saat itu biasa digunakan sebagai pengganti semen. Bahkan, dia memiliki beberapa buruh.
"Saya mencoba bisnis, tapi pengelolaannya kurang profesional. Akhirnya usaha saya bangkrut," terang Balut. Kini cerita pernah kaya Balut itu tinggal kenangan.
Bekas OKB lain yang dihubungi Radar Bali (JPNN Group) adalah Made Wardi. Sehari-hari pria 50 tahun itu adalah tukang sapu di desanya yang digaji Pemkab Badung sebagai tenaga harian lepas.
"Ya, seperti inilah kehidupan saya sekarang," kata Wardi di rumahnya di Jalan Ulunsiwi, Banjar Teba, Desa Jimbaran, Selasa lalu (9/8). Sebelum menjadi tukang sapu, berbagai pekerjaan kasar pernah dia lakoni. "Jadi, nelayan pernah, buruh proyek juga pernah," katanya.
Kehidupan Wardi sekarang sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan puluhan tahun lalu ketika menjadi OKB. Saat itu dia kecipratan berkah dari penjualan tanah milik ayahnya, almarhum Made Sempeng.
Itu terjadi pada 1974-1976, ketika investor gencar berburu tanah di Jimbaran. "Ayah saya punya banyak tanah," katanya. Wardi mengaku mendapat bagian uang hasil penjualan tanah ayahnya hingga puluhan juta rupiah. "Tapi, karena nggak bisa mengatur, uang itu habis," kenangnya.
Jika kekayaan Balut dan Wardi saat ini hilang tak berbekas, lahan yang dulu menjadi miliknya sampai sekarang masih ada. Tapi, di atasnya sudah berdiri hotel-hotel berbintang lima. Sebut saja Hotel Intercontinental dan Four Seasons.
Menurut Made Dharma, tokoh masyarakat Jimbaran, proses jual beli tanah dalam skala besar yang paling awal terjadi di Jimbaran adalah pada 1974. Ketika itu investor membeli lahan untuk pembangunan Hotel Intercontinental. "Mulai saat itu banyak OKB karena menjual tanah," cerita Dharma.
Kala itu harga lahan dengan luas satu hektare mencapai Rp 10 juta hingga Rp 25 juta. "Uang segitu sangat banyak. Pada waktu itu, harga mobil antara Rp 2,5 juta hingga Rp 3,5 juta. Sepeda motor malah hanya Rp 250 ribu sampai Rp 400 ribu," cerita Dharma.
Sayangnya, uang berlimpah yang didapat warga tak dimanfaatkan secara semestinya. "Banyak OKB yang akhirnya kembali jatuh miskin karena gagal mengelola uangnya," ujar Dharma. Intercontinental, jimbaranIntercontinental, jimbaran
"Pemilik itu sekarang tinggal nama. Bekas milik dia, tanah itu sudah pindah tangan ke investor berkantong tebal," imbuhnya.
Dharma menuturkan, banyak uang hasil menjual tanah itu dipakai untuk hal-hal konsumtif. Di antaranya membeli sepeda motor, mobil, dan televisi. Parahnya lagi, banyak pula yang menghambur-hamburkan uangnya untuk minum-minuman keras hingga berjudi.
Walau sebagian, ada pula yang tersedot untuk membangun rumah dan sanggah keluarga. "Kalau membangun rumah dan sanggah keluarga, itu masih bisa ditoleransi," jelasnya.
IGKG Yusa Arsana Putra, tokoh masyarakat lain di Jimbaran, menambahkan, selain dipakai untuk judi, banyak juga yang menggunakan uangnya untuk bermain perempuan.
Dalam sehari, kata Yusa, duit yang dihabiskan di meja judi bisa sampai Rp 1 juta. Padahal, harga tanah per are saat itu antara Rp 100 ribu sampai Rp 250 ribu. "Mereka bisa berjudi setiap hari," kata pria 44 tahun itu.
Menurut Yusa, setelah mendapat banyak uang dari berjualan tanah, banyak yang suka "jajan?. Bahkan, jajannya bukan sekali, namun berkali-kali. Yang lebih gila, layaknya bos, ada yang memelihara perempuan untuk dikoskan. Saat itu sudah muncul sarang pelacuran, seperti kompleks Sanur, Pesanggaran, hingga Lumintang. Tak jarang pula ada yang diporoti perempuannya. Ada juga yang sampai tercantol hingga kabur dari rumah.
Di Kelurahan Tanjung Benoa bahkan ada yang ikut perempuannya ke Jawa. Setelah sekian lama tidak pulang, tiba-tiba muncul kabar bahwa di rumah sakit dalam kondisi sudah meninggal dunia. "Mereka sampai lupa segalanya. Sampai mengorbankan jiwanya untuk kesenangan," jelasnya. "Semoga ini hanya terjadi di Jimbaran," katanya. (jpnn/yes/c2/kum)
YOYO RAHARYO, Badung
UMUR Wayan Balut tak lagi muda: 67 tahun. Tapi, dia masih tampak energik. Sehari-hari warga Lingkungan Teba, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, itu bekerja serabutan.
Dia tinggal bersama dua istri di rumahnya yang sangat sederhana. "Untung, anak-anak saya sudah bekerja semua. Mereka sudah punya kehidupan sendiri-sendiri," kata bapak enam anak itu.
Kedua mata Balut menerawang ketika ditanya tentang perjalanan hidupnya puluhan tahun lalu. Balut adalah salah seorang OKB (orang kaya baru) karena tanahnya dibeli investor yang membangun hotel di Desa Jimbaran.
"Saya dulu petani garam. Sekitar 1978 tanah saya dibeli untuk hotel dan pembangunan kampus Universitas Udayana. Lokasi tanah saya ada di Bukit Jimbaran," ceritanya. Balut mengaku, luas tanah yang dijual pada saat itu berhektare-hektare.
Balut mengatakan, saat itu harga tanah per are sekitar Rp 100 ribu (1 are = 100 meter persegi). Dari hasil menjual tanahnya, Balut menerima uang puluhan juta rupiah. Kala itu cukup populer istilah pis jamrud. Yakni, uang yang datang dari hasil menjual tanah. "Uang segitu pada 1978 termasuk besar," ujarnya.
Oleh Balut, uang tersebut dipakai untuk berbagai macam. Di antaranya biaya upacara keagamaan seperti ngaben, memperbaiki sanggah (tempat untuk memuja nenek moyang, Red), berbisnis, hingga berfoya-foya meski sedikit.
"Sedikit saya pakai foya-foya. Karena judi kurang bisa. Main perempuan sedikit," katanya berterus terang, seraya minta agar wajahnya tak diabadikan.
itu Balut tak lagi menjadi petani garam. Dia membeli satu unit truk dan mencoba berbisnis kapur gamping yang saat itu biasa digunakan sebagai pengganti semen. Bahkan, dia memiliki beberapa buruh.
"Saya mencoba bisnis, tapi pengelolaannya kurang profesional. Akhirnya usaha saya bangkrut," terang Balut. Kini cerita pernah kaya Balut itu tinggal kenangan.
Bekas OKB lain yang dihubungi Radar Bali (JPNN Group) adalah Made Wardi. Sehari-hari pria 50 tahun itu adalah tukang sapu di desanya yang digaji Pemkab Badung sebagai tenaga harian lepas.
"Ya, seperti inilah kehidupan saya sekarang," kata Wardi di rumahnya di Jalan Ulunsiwi, Banjar Teba, Desa Jimbaran, Selasa lalu (9/8). Sebelum menjadi tukang sapu, berbagai pekerjaan kasar pernah dia lakoni. "Jadi, nelayan pernah, buruh proyek juga pernah," katanya.
Kehidupan Wardi sekarang sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan puluhan tahun lalu ketika menjadi OKB. Saat itu dia kecipratan berkah dari penjualan tanah milik ayahnya, almarhum Made Sempeng.
Itu terjadi pada 1974-1976, ketika investor gencar berburu tanah di Jimbaran. "Ayah saya punya banyak tanah," katanya. Wardi mengaku mendapat bagian uang hasil penjualan tanah ayahnya hingga puluhan juta rupiah. "Tapi, karena nggak bisa mengatur, uang itu habis," kenangnya.
Jika kekayaan Balut dan Wardi saat ini hilang tak berbekas, lahan yang dulu menjadi miliknya sampai sekarang masih ada. Tapi, di atasnya sudah berdiri hotel-hotel berbintang lima. Sebut saja Hotel Intercontinental dan Four Seasons.
Menurut Made Dharma, tokoh masyarakat Jimbaran, proses jual beli tanah dalam skala besar yang paling awal terjadi di Jimbaran adalah pada 1974. Ketika itu investor membeli lahan untuk pembangunan Hotel Intercontinental. "Mulai saat itu banyak OKB karena menjual tanah," cerita Dharma.
Kala itu harga lahan dengan luas satu hektare mencapai Rp 10 juta hingga Rp 25 juta. "Uang segitu sangat banyak. Pada waktu itu, harga mobil antara Rp 2,5 juta hingga Rp 3,5 juta. Sepeda motor malah hanya Rp 250 ribu sampai Rp 400 ribu," cerita Dharma.
Sayangnya, uang berlimpah yang didapat warga tak dimanfaatkan secara semestinya. "Banyak OKB yang akhirnya kembali jatuh miskin karena gagal mengelola uangnya," ujar Dharma. Intercontinental, jimbaranIntercontinental, jimbaran
"Pemilik itu sekarang tinggal nama. Bekas milik dia, tanah itu sudah pindah tangan ke investor berkantong tebal," imbuhnya.
Dharma menuturkan, banyak uang hasil menjual tanah itu dipakai untuk hal-hal konsumtif. Di antaranya membeli sepeda motor, mobil, dan televisi. Parahnya lagi, banyak pula yang menghambur-hamburkan uangnya untuk minum-minuman keras hingga berjudi.
Walau sebagian, ada pula yang tersedot untuk membangun rumah dan sanggah keluarga. "Kalau membangun rumah dan sanggah keluarga, itu masih bisa ditoleransi," jelasnya.
IGKG Yusa Arsana Putra, tokoh masyarakat lain di Jimbaran, menambahkan, selain dipakai untuk judi, banyak juga yang menggunakan uangnya untuk bermain perempuan.
Dalam sehari, kata Yusa, duit yang dihabiskan di meja judi bisa sampai Rp 1 juta. Padahal, harga tanah per are saat itu antara Rp 100 ribu sampai Rp 250 ribu. "Mereka bisa berjudi setiap hari," kata pria 44 tahun itu.
Menurut Yusa, setelah mendapat banyak uang dari berjualan tanah, banyak yang suka "jajan?. Bahkan, jajannya bukan sekali, namun berkali-kali. Yang lebih gila, layaknya bos, ada yang memelihara perempuan untuk dikoskan. Saat itu sudah muncul sarang pelacuran, seperti kompleks Sanur, Pesanggaran, hingga Lumintang. Tak jarang pula ada yang diporoti perempuannya. Ada juga yang sampai tercantol hingga kabur dari rumah.
Di Kelurahan Tanjung Benoa bahkan ada yang ikut perempuannya ke Jawa. Setelah sekian lama tidak pulang, tiba-tiba muncul kabar bahwa di rumah sakit dalam kondisi sudah meninggal dunia. "Mereka sampai lupa segalanya. Sampai mengorbankan jiwanya untuk kesenangan," jelasnya. "Semoga ini hanya terjadi di Jimbaran," katanya. (jpnn/yes/c2/kum)
0 comments:
Post a Comment