Cerita Cerita Inspiratif Dan Motivasi
Sebagai seorang ibu rumah tangga, pernahkah kau merasa hampa?? Seorang sahabat pernah datang padaku, dia tak menangis juga tak tampak marah. Tapi matanya yang sayu seakan menggambarkan keadaan dirinya. Tanpa emosi berarti, ia curhat padaku perlahan-lahan namun sarat dengan masalah. Ia kelihatan lelah dengan hidupnya sendiri.
Ia menikah lebih dari 15 tahun, ibarat sebuah pohon maka rumah tangga mereka telah memiliki akar yang kuat. Ia tahu betapa banyak yang ia dan suaminya korbankan untuk perkawinan mereka. Ketidaksetujuan orangtua suami atas dirinya, membuat sang istri selalu berusaha menjadi istri terbaik untuk suaminya.
Istri yang memilih menikah di usia yang muda, mengorbankan karier yang begitu cemerlang demi memperbaiki hubungan dengan keluarga sang suami. Meskipun ia telah menunjukkan dedikasi yang begitu tinggi terhadap keluarga suami dan anak-anaknya, ternyata sama sekali tidak menggerakkan hati keluarga dari pihak suaminya terutama kedua mertuanya. Bertahun-tahun kemudian bahkan ketika putra-putri mereka telah beranjak remaja, tetap tak ada persetujuan dari sang mertua untuknya.
Akhirnya Istripun menyerah, ia menawarkan pilihan untuk sang suami agar mengakhiri perkawinan mereka demi kepentingan semua pihak. Tetapi sang suami menolak dengan alasan demi anak-anak. Meskipun sulit akhirnya mereka berdua sepakat bahwa kalau perjuangan ini diteruskan justru tak baik bagi anak-anak karena melihat ibu mereka dicaci maki nenek dan kakeknya. Namun setelah peristiwa itu, suami berubah jadi protektif dan sangat pengatur.
Ia memang tak pernah banyak bicara, tetapi ia tidak membolehkan ada pembantu di rumah tangga mereka sehingga istri terpaksa tinggal di rumah mengurus anak-anak mereka yang meskipun sudah besar-besar, tapi sebenarnya masih sangat membutuhkan perhatian. Suaminya juga membatasi keuangan yang ditangani istrinya dengan berbagai alasan. Sang Istri yang memang sudah lelah dengan berbagai perselisihan dengan keluarga suaminya pun tak banyak bicara, ia memilih mengikuti semua keinginan sang suami. Ia kasihan pada suaminya yang harus terombang-ambing antara keluarganya sendiri dan keluarga besarnya.
Ketika kutanya kenapa ia tak berdiskusi tentang keuangan rumah tangga dengan suaminya? Ia tersenyum pahit dan memberi alasan.
“Aku kasihan dengan suamiku, ia sudah mengalami banyak penderitaan sejak masih kecil dulu. Aku ingin ia bahagia bersamaku, aku ingin ia melihatku sebagai istri yang ia memang inginkan, tak banyak tingkah, patuh padanya dan mau hidup menderita bersamanya.”
Memang aku mengenalnya sosok sahabatku dulu begitu dinamis, pandai berbicara, penuh energi, penuh ide-ide briliant memang telah berubah banyak. Kini ia lebih banyak berkurung di rumah, bahkan terkadang tak keluar dari rumah berhari-hari, menghabiskan hidupnya di depan internet setelah menyelesaikan semua urusan rumah tangga, ia menyambut anak-anaknya dengan serentetan jadwal rutin lalu ketika satu persatu putra putrinya pergi ke sekolah atau ke tempat-tempat kursus, ia duduk seharian di depan internet bermain game-game facebook. Aku bertemu melalui jaring sosialisasi itu juga dengannya dan agak kaget melihat perubahan besarnya.
Ia melihat kesibukanku yang beragam, sempat menyatakan ketertarikannya. Ia belajar beberapa ide kreatif seperti menjahit dan membuat kue. Tapi karena pada dasarnya ia tak suka, ia melupakannya dengan cepat dan lebih banyak tenggelam dalam dunia games. Beberapa kali ia kuajak membuat blog, tetapi ia tak tertarik dengan alasan tak suka menulis.
Sampai hari ketika ia mengadu padaku, satu-satunya komputer yang membuatnya bahagia telah rusak. Sang suami yang sudah bosan melihat istrinya setiap hari bermain games, tidak mau memperbaikinya. Bisa dibayangkan, mereka berduapun bertengkar hebat. Sahabatku itu bercerita, ia bahkan melemparkan dan menendang unit CPU itu hingga pecah sebelum memutuskan keluar rumah meredakan emosi.
Dia bilang, ia menumpahkan semua isi hatinya. Ia mengatakan bahwa ia lelah harus terus menerus mendengar keluhan suaminya mengenai buruknya ekonomi yang mempengaruhi keuangan rumah tangga. Ia lelah menahan diri karena tak bisa membeli baju, buku bahkan sekedar memberi kado hadiah ulang tahun anak-anaknya, sahabat2nya dan bahkan orangtuanya hanya karena suaminya menganggap ulang tahun bukanlah hal penting. Ia lelah mengalah demi semua kepentingan di rumah. Ia harus mengalah dengan mengenakan baju-baju tua agar anak-anaknya bisa punya seragam baru. Ia lelah menahan diri untuk tidak keluar rumah meskipun bosan karena kuatir nanti di mall malah menghabiskan uang saja, walaupun cuma ongkos transport. Ia lelah harus menelan kekecewaan karena uang jajan yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari sisa uang belanja yang sangat minim, tapi akhirnya digunakan anak-anaknya yang tak berani meminta ataupun malah dicuekin oleh sang suami. Ia lelah karena setiap kali meminta pada suami harus mengambek berhari-hari dulu dan kalaupun diberikan bukanlah sesuai keinginannya, selalu ada bagian yang dikurangi. Ia lelah karena harus memikirkan keinginan setiap orang, sementara keinginannya harus dikuburkan dalam-dalam hanya karena ia seorang istri yang cuma berdiam di rumah.
Ia merasa dunia games adalah dunia impian di mana ia bisa mencurahkan kecerdasannya. Ia tak perlu berdebat, menunggu atau menelan kekecewaan. Di games, ia bisa melarikan semua masalahnya, mendapatkan kebahagiaan walaupun cuma sebentar dengan memenangkan sebuah permainan. Ia menikmati kesibukan saat harus mencuci sambil menunggu gamesnya terdownload, atau saat ia berbagi “gift” sambil memasak.
Aku harus akui, apa yang dialami sahabatku juga pernah kualami sendiri. Tapi aku beruntung karena anak-anak selalu membuatku sibuk. Mungkin karena mereka masih terlalu kecil sehingga aku masih harus ekstra perhatian pada mereka. Aku juga harus berbagi komputer dengan putra-putriku sehingga tak terlalu punya banyak waktu untuk bermain. Aku juga bebas kesana kemari kalau sedang bosan di rumah dan suamiku tak pernah keberatan menjaga anak-anak untukku.
Di akhir percakapan kami, sahabatku tertawa miris. Ia bilang ia ingin sekali melarikan diri dari semua kesumpekan dari rumahnya, tapi sayang ia tak punya apa-apa. Seluruh tabungannya saat bekerja dulu habis sedikit demi sedikit menutupi kebutuhannya selama ini dan dari suami, ia tak pernah mendapatkan apapun.
Aku hanya bisa mengingatkan agar dia berbicara dengan suaminya tentang keadaan rumah tangga mereka. Komunikasi sangat penting untuk mencapai kesepakatan dan mencari jalan terbaik bagi keinginan masing-masing. Tetapi sahabatku malah tertawa, masih dengan kemirisan, bahwa berbicara adalah sesuatu hal yang tak mungkin karena itu berarti Suara Suami adalah Suara Tuhan di rumahnya. Kalau sang suami kalah berdebat, maka ia akan langsung meninggalkan sang istri tanpa kata apapun dan tetap mempertahankan prinsipnya sendiri.
Aku hanya bisa berharap dan berdoa semoga suami sahabatku itu mau mendengarkan istrinya satu kali saja. Jeritan hati istri itu penting untuk didengar, agar mentalnya tetap sehat. Mental ibu yang stress juga sangat mempengaruhi perkembangan jiwa anak-anak. Keinginan seorang istri itu sederhana, perhatian dari suami walaupun cuma kata-kata “aku sayang kamu” bisa menjadi spirit yang menggema di jiwanya yang rapuh. Keinginan istri itu hanyalah agar perhatian suami tak cuma tertumpu pada stabilitas ekonomi rumah tangga atau anak-anak semata, ia juga ingin didengarkan, ingin diperhatikan, dan ingin agar dihargai. Sehelai kaus murahan di obralan bisa jadi berlian jika diberikan dengan ketulusan dan perhatian. Hadiahkan apa yang ia butuhkan bukan apa yang dipaksakan. Ia akan melupakan hal-hal lain dan akan lebih memperhatikan kebutuhan sang suami, jika kebutuhannya pun diperhatikan. Istri terutama jika ia telah menjadi ibu selalu memikirkan anak, anak, anak dan suami terlebih dahulu. Keinginannya selalu menjadi yang terakhir di dalam pikiran setiap ibu. Jadi kumohon para suami, hormatilah keinginan istri dan percayalah jika kau memilihnya karena ia orang yang baik maka ia akan bisa kembali menjadi sosok saat pertamakali bertemu, asalkan setiap suami juga kembali seperti saat menikah dulu yang memperhatikan dirinya, memperhatikan keinginannya….
Semoga Allah S.W.T membuka pintu-pintu hati yang tertutup dan menjadikan keluarga-keluarga kita menjadi keluarga sakinah mawaddah warohmah.
Sumber
Sebagai seorang ibu rumah tangga, pernahkah kau merasa hampa?? Seorang sahabat pernah datang padaku, dia tak menangis juga tak tampak marah. Tapi matanya yang sayu seakan menggambarkan keadaan dirinya. Tanpa emosi berarti, ia curhat padaku perlahan-lahan namun sarat dengan masalah. Ia kelihatan lelah dengan hidupnya sendiri.
Ia menikah lebih dari 15 tahun, ibarat sebuah pohon maka rumah tangga mereka telah memiliki akar yang kuat. Ia tahu betapa banyak yang ia dan suaminya korbankan untuk perkawinan mereka. Ketidaksetujuan orangtua suami atas dirinya, membuat sang istri selalu berusaha menjadi istri terbaik untuk suaminya.
Istri yang memilih menikah di usia yang muda, mengorbankan karier yang begitu cemerlang demi memperbaiki hubungan dengan keluarga sang suami. Meskipun ia telah menunjukkan dedikasi yang begitu tinggi terhadap keluarga suami dan anak-anaknya, ternyata sama sekali tidak menggerakkan hati keluarga dari pihak suaminya terutama kedua mertuanya. Bertahun-tahun kemudian bahkan ketika putra-putri mereka telah beranjak remaja, tetap tak ada persetujuan dari sang mertua untuknya.
Akhirnya Istripun menyerah, ia menawarkan pilihan untuk sang suami agar mengakhiri perkawinan mereka demi kepentingan semua pihak. Tetapi sang suami menolak dengan alasan demi anak-anak. Meskipun sulit akhirnya mereka berdua sepakat bahwa kalau perjuangan ini diteruskan justru tak baik bagi anak-anak karena melihat ibu mereka dicaci maki nenek dan kakeknya. Namun setelah peristiwa itu, suami berubah jadi protektif dan sangat pengatur.
Ia memang tak pernah banyak bicara, tetapi ia tidak membolehkan ada pembantu di rumah tangga mereka sehingga istri terpaksa tinggal di rumah mengurus anak-anak mereka yang meskipun sudah besar-besar, tapi sebenarnya masih sangat membutuhkan perhatian. Suaminya juga membatasi keuangan yang ditangani istrinya dengan berbagai alasan. Sang Istri yang memang sudah lelah dengan berbagai perselisihan dengan keluarga suaminya pun tak banyak bicara, ia memilih mengikuti semua keinginan sang suami. Ia kasihan pada suaminya yang harus terombang-ambing antara keluarganya sendiri dan keluarga besarnya.
Ketika kutanya kenapa ia tak berdiskusi tentang keuangan rumah tangga dengan suaminya? Ia tersenyum pahit dan memberi alasan.
“Aku kasihan dengan suamiku, ia sudah mengalami banyak penderitaan sejak masih kecil dulu. Aku ingin ia bahagia bersamaku, aku ingin ia melihatku sebagai istri yang ia memang inginkan, tak banyak tingkah, patuh padanya dan mau hidup menderita bersamanya.”
Memang aku mengenalnya sosok sahabatku dulu begitu dinamis, pandai berbicara, penuh energi, penuh ide-ide briliant memang telah berubah banyak. Kini ia lebih banyak berkurung di rumah, bahkan terkadang tak keluar dari rumah berhari-hari, menghabiskan hidupnya di depan internet setelah menyelesaikan semua urusan rumah tangga, ia menyambut anak-anaknya dengan serentetan jadwal rutin lalu ketika satu persatu putra putrinya pergi ke sekolah atau ke tempat-tempat kursus, ia duduk seharian di depan internet bermain game-game facebook. Aku bertemu melalui jaring sosialisasi itu juga dengannya dan agak kaget melihat perubahan besarnya.
Ia melihat kesibukanku yang beragam, sempat menyatakan ketertarikannya. Ia belajar beberapa ide kreatif seperti menjahit dan membuat kue. Tapi karena pada dasarnya ia tak suka, ia melupakannya dengan cepat dan lebih banyak tenggelam dalam dunia games. Beberapa kali ia kuajak membuat blog, tetapi ia tak tertarik dengan alasan tak suka menulis.
Sampai hari ketika ia mengadu padaku, satu-satunya komputer yang membuatnya bahagia telah rusak. Sang suami yang sudah bosan melihat istrinya setiap hari bermain games, tidak mau memperbaikinya. Bisa dibayangkan, mereka berduapun bertengkar hebat. Sahabatku itu bercerita, ia bahkan melemparkan dan menendang unit CPU itu hingga pecah sebelum memutuskan keluar rumah meredakan emosi.
Dia bilang, ia menumpahkan semua isi hatinya. Ia mengatakan bahwa ia lelah harus terus menerus mendengar keluhan suaminya mengenai buruknya ekonomi yang mempengaruhi keuangan rumah tangga. Ia lelah menahan diri karena tak bisa membeli baju, buku bahkan sekedar memberi kado hadiah ulang tahun anak-anaknya, sahabat2nya dan bahkan orangtuanya hanya karena suaminya menganggap ulang tahun bukanlah hal penting. Ia lelah mengalah demi semua kepentingan di rumah. Ia harus mengalah dengan mengenakan baju-baju tua agar anak-anaknya bisa punya seragam baru. Ia lelah menahan diri untuk tidak keluar rumah meskipun bosan karena kuatir nanti di mall malah menghabiskan uang saja, walaupun cuma ongkos transport. Ia lelah harus menelan kekecewaan karena uang jajan yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari sisa uang belanja yang sangat minim, tapi akhirnya digunakan anak-anaknya yang tak berani meminta ataupun malah dicuekin oleh sang suami. Ia lelah karena setiap kali meminta pada suami harus mengambek berhari-hari dulu dan kalaupun diberikan bukanlah sesuai keinginannya, selalu ada bagian yang dikurangi. Ia lelah karena harus memikirkan keinginan setiap orang, sementara keinginannya harus dikuburkan dalam-dalam hanya karena ia seorang istri yang cuma berdiam di rumah.
Ia merasa dunia games adalah dunia impian di mana ia bisa mencurahkan kecerdasannya. Ia tak perlu berdebat, menunggu atau menelan kekecewaan. Di games, ia bisa melarikan semua masalahnya, mendapatkan kebahagiaan walaupun cuma sebentar dengan memenangkan sebuah permainan. Ia menikmati kesibukan saat harus mencuci sambil menunggu gamesnya terdownload, atau saat ia berbagi “gift” sambil memasak.
Aku harus akui, apa yang dialami sahabatku juga pernah kualami sendiri. Tapi aku beruntung karena anak-anak selalu membuatku sibuk. Mungkin karena mereka masih terlalu kecil sehingga aku masih harus ekstra perhatian pada mereka. Aku juga harus berbagi komputer dengan putra-putriku sehingga tak terlalu punya banyak waktu untuk bermain. Aku juga bebas kesana kemari kalau sedang bosan di rumah dan suamiku tak pernah keberatan menjaga anak-anak untukku.
Di akhir percakapan kami, sahabatku tertawa miris. Ia bilang ia ingin sekali melarikan diri dari semua kesumpekan dari rumahnya, tapi sayang ia tak punya apa-apa. Seluruh tabungannya saat bekerja dulu habis sedikit demi sedikit menutupi kebutuhannya selama ini dan dari suami, ia tak pernah mendapatkan apapun.
Aku hanya bisa mengingatkan agar dia berbicara dengan suaminya tentang keadaan rumah tangga mereka. Komunikasi sangat penting untuk mencapai kesepakatan dan mencari jalan terbaik bagi keinginan masing-masing. Tetapi sahabatku malah tertawa, masih dengan kemirisan, bahwa berbicara adalah sesuatu hal yang tak mungkin karena itu berarti Suara Suami adalah Suara Tuhan di rumahnya. Kalau sang suami kalah berdebat, maka ia akan langsung meninggalkan sang istri tanpa kata apapun dan tetap mempertahankan prinsipnya sendiri.
Aku hanya bisa berharap dan berdoa semoga suami sahabatku itu mau mendengarkan istrinya satu kali saja. Jeritan hati istri itu penting untuk didengar, agar mentalnya tetap sehat. Mental ibu yang stress juga sangat mempengaruhi perkembangan jiwa anak-anak. Keinginan seorang istri itu sederhana, perhatian dari suami walaupun cuma kata-kata “aku sayang kamu” bisa menjadi spirit yang menggema di jiwanya yang rapuh. Keinginan istri itu hanyalah agar perhatian suami tak cuma tertumpu pada stabilitas ekonomi rumah tangga atau anak-anak semata, ia juga ingin didengarkan, ingin diperhatikan, dan ingin agar dihargai. Sehelai kaus murahan di obralan bisa jadi berlian jika diberikan dengan ketulusan dan perhatian. Hadiahkan apa yang ia butuhkan bukan apa yang dipaksakan. Ia akan melupakan hal-hal lain dan akan lebih memperhatikan kebutuhan sang suami, jika kebutuhannya pun diperhatikan. Istri terutama jika ia telah menjadi ibu selalu memikirkan anak, anak, anak dan suami terlebih dahulu. Keinginannya selalu menjadi yang terakhir di dalam pikiran setiap ibu. Jadi kumohon para suami, hormatilah keinginan istri dan percayalah jika kau memilihnya karena ia orang yang baik maka ia akan bisa kembali menjadi sosok saat pertamakali bertemu, asalkan setiap suami juga kembali seperti saat menikah dulu yang memperhatikan dirinya, memperhatikan keinginannya….
Semoga Allah S.W.T membuka pintu-pintu hati yang tertutup dan menjadikan keluarga-keluarga kita menjadi keluarga sakinah mawaddah warohmah.
Sumber
0 comments:
Post a Comment