Pernahkah kita merenungkan, bahwa dalam menjalani kehidupan ini, kita layaknya seperti berkendara di jalan Tol. Ada banyak ketentuan disana, yang membantu pengendara dapat menjaga keselamatan dan meminimalisir kecelakaan. Baik itu urusan kecepatan maksimum maupun minimul, rambu-rambu tanjakan turunan jalan, hingga ruas-ruas jalur darurat.
Yang paling khas dari jalan tol itu adalah keberadaan Lajur Kiri dan Lajur Kanan. Lajur kiri identik dengan jalur lambat, sementara lajur kanan adalah untuk mendahului. Ciri khas kendaraan yang selalu berada di lajur kiri adalah pengendara yang berfikir biar lambat asal selamat, alon-alon asal kelaok. Atau biasanya kendaraannya yang berat-berat, seperti truk, tronton, atau yang merasa khawatir dengan kondisi kendaraannya serta mengendarai dengan perasaan penuh kekhawatiran.
Sementara yang sering berada di lajur kanan, sebagaimana rambu dari Jasa Marga sendiri “Gunakan Lajur Kanan Untuk Mendahului”, dia selalu memacu kendaraannya dalam kecepatan tinggi, mungkin sekali-kali berpindah ke tengah, tapi selanjutnya menyalip lagi dan mendahului kendaraan lainnya. Pengendara yang mengambil lajur kanan, memacu kendaraannya dengan cepat, otomatis dia akan lebih cepat sampai ke tujuan, meskipun tentunya dalam irama kecepatan, penuh dengan resiko-resiko. Tapi tentu intinya ada pada kemampuan kendali mengemudi kendaraan itu sendiri, mnegatur gas dan rem.
Dalam hidup, sebenarnya kita juga bisa belajar dari philosofi berkendara di jalan tol. Orang yang selalu berfikir dengan otak kiri penuh kehati-hatian, penuh pertimbangan, rasional, tertib, meskipun lambat. Seperti dalam hal merencanakan menikah misalnya, dia berfikir dengan penuh pertimbangan. “Belum punya penghasilan tetap, belum punya rumah dll”. Atau dalam hal ketika kita punya uang 20 ribu, disaat kita belum makan, lalu ada pengemis miskin yang kelaparan menengadahkan tangannya, dia akan berfikir, kalau uang ini dikasihkan ke pengemis iotu 5000 berarti uang saya tinggal 15 ribu, gak cukup untuk makan dan ongkos saya.
Tapi bagi orang yang berada di lajur kanan, ibarat orang yang menjalani kehidupan dengan otak kanan. Dia bergerak cepat, berani mengambil resiko dan Dia percaya pada hal-hal diluar kemampuan dirinya. Dia berpegang pada DUIT ” Do’a, Usaha, Ikhtiar dan Tekad”. Jika bermaksud menikah, dia percaya bahwa saat menikah dia membawa peluang rezeki untuk 2 orang dari Tuhan, dalam menyatunya dua manusia, akan memungkinkan saling berbicara dan berdiskusi menyikapi hidup, sehingga akan lebih memungkinkan membuka peluang-peluang keberlimpahan rezeki dengan segala ikhtiarnya.
Jika dia punya uang 10 ribu, lalu ada ada pengemis dan dia shodaqohkan 2 ribu, orang kanan percaya bahwa uang 10 ribu itu akan menjadi 70 ribu atau bahkan 700 ribu, karena yakin pada kemukzijatan shadaqoh. Itulah mengapa bahwa orang-orang yang selalu berada di jalur kanan, akan melewati fase-fase percepatan. Dan disana tidak semata-mata rasionalitas. Yang lebih mendominasi adalah keyakinan, tekad, dan kesiapan menghadapi segala resiko.
Nah jika sudah begini, apakah kita mau terus mengambil jalur kiri, ataukah Jalur Kanan…??
0 comments:
Post a Comment